Contoh Kritik Sastra



PERAHU KERTAS: SIMBOL KEHIDUPAN
Oleh: Winia Wanda
Perahu kertas. Siapa sih, yang tidak tahu dengan perahu kertas! Semua kalangan, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa pun tahu dengan benda itu. adalah sebuah perahu yang dibentuk dari secarik kertas. Eits, jangan salah, yang ingin saya bahas disini bukan benda yang dibentuk dari kertas tersebut tapi novel yang berjudul sebentuk frasa yaitu Perahu Kertas.
Novel Perahu Kertas merupakan karya Dewi Lestari. Perempuan ini terkenal dengan karya-karyanya yang unik. Mulai dari novel pertamanya Supernova Satu : Ksatria, Puteri Dan Bintang Jatuh yang bergenre sains fiksi sampai dengan serial terakhirnya Intelegensi Embun Pagi. Nah, Perahu Kertas ini adalah novel  dengan kisah cinta yang tidak biasa. Pengarang yang akrab dipanggil Dee ini melabuhkan perahu kertasnya dengan sempurna. Sejatinya sebuah perahu yang berlayar akan menerjang ombak, badai dan segala macam bentuk kejadian yang dialami selama perjalanan maka inilah pelayaran perahu kertas Dee dimulai.
Novel ini mengusung tema yang unik, yaitu kisah cinta laki-laki dan perempuan dalam diam, namun pada suatu masa perasaan bukanlah suatu hal yang harus dipandang dengan logika dan takdir jadi penentu dari kisah ini (cinta). Layaknya perahu kertas yang mengarungi perjalanan, kisah cinta bukan lagi suatu hal yang tabu dalam tatanan kehidupan manusia, cinta adalah sebentuk warna yang begitu mempengaruhi.
Sebuah kisah seorang perempuan dan laki-laki, bisa dikatakan remaja yang baru menyelesaikan sekolah menengah atas yang akan melanjutkan kuliah di Bandung. Tokoh perempuan ini bernama Kugy dan yang laki-laki bernama Keenan. Dee terlihat kreatif dalam pemberian nama tokoh dalam setiap karyanya. Tak hanya pada novel ini saja, novel yang lain pun sama kreatifnya (ada tokoh Ferre dan Rana dalam novel pertamanya, ada tokoh Bodhi dalam novel Akar, tokoh Elekra dalam novel  Petir dan lainnya). Dari nama  tokohnya saja sudah dapat dikatakan bahwa karya Dee memang unik.
            Tokoh Kugy digambarkan sebagai seorang perempuan yang urakan, bercita-cita menjadi penulis dongeng dan merasa dirinya dalah agen Neptunus. Sekilas novel ini tampak tidak mementingkan citra diri dan gengsi seseorang yang hidup didunia modernitas dan hedonis seperti sekarang.
Neptunus di sini bukanlah nama planet ke-8 dari matahari dalam tata surya melainkan nama dewa penguasa lautan bagi bangsa Romawi. Tokoh Kugy memeliki kebiasaan menulis surat kepada Neptunus lewat tulisannya pada secarik kertas yang kemudian dibentuk menjadi perahu kertas dan dihanyutkan ke laut. Tokoh ini dengan kemampuannya menulis dongeng ia mengetahui betul bahwa kebiasaannya itu adalah suatu hal yang sia-sia karena Neptunus itu mungkin tidak pernah ada dan hanyalah dongeng.
Tokoh Kugy yang bercita-cita menjadi penulis dongeng dinyatakan bukanlah suatu hal yang realistis. Di kehidupan yang sudah serba cangkih ini menjadi penulis dongeng adalah suatu hal yang tidak menjamin, namun jika kita pandang dari perspektif lain bahwa pada zaman sekarang tulisan dalam bentuk dongeng itu sudah jarang sekali ditemukan. Hal ini sangat disayangkan bagi anak-anak yang membutuhkan pembelajaran yang menarik seperti didapatkan melalui dongeng. Melalui tokoh Kugy sepertinya pengarang menyampaikan pemberontakannya terhadap dongeng-dongeng yang telah punah dan menginginkan dongeng itu hidup kembali dalam kehidupan masyarakat.
Sebagaimana sebuah perahu itu berlayar, entah halangan, rintangan apa yang akan dihadapi di depan, kita tak pernah tahu. Sama halnya dengan itu, tokoh Kugy dan Keenan memiliki perjalanan kisah cinta menarik sehingga menjadikannya novel ini sesuatu atau “istimewa”. Kedua tokoh ini saling jatuh cinta tetapi apa yang mau dikata, konteks untuk menyatakan cinta itu tak pernah ada. Ketika harapan dan keinginan mereka tak sejelan dengan realitas sehingga realitas menuntut mereka untuk hidup dalam perasaan masing-masing.  Kugy dengan kehidupannya (memutuskan putus dengan pacarnya, sibuk kuliah, bekerja, kemudian punya pacar lagi dengan perasaan cinta kepada Keenan yang tak pernah hilang). Demikian pula dengan Keenan (kuliah, melukis, punya pacar, putus dengan pacarnya, menghilang selama bertahun-tahun, kemudian pacaran --dengan orang lain bukan Kugy-- lagi dengan perasaan cinta tetap kepada Kugy). Sampai pada satu titik, ketika cinta mempengaruhi segalanya. Ketika perasaan tidak dapat dinyatakan dengan rasional manusia, maka kisah ini bertemu pada klimaksnya. Ketika kedua tokoh ini saling mengetahui dan menyatakan cinta, namun konteksnya pun tak sejalan. Karena diri mereka memiliki tali dengan hidup orang lain.
Pengarang dengan lincahnya berasumsi bahwa hati tak pernah memilih tapi hati dipilih. Hal ini memiliki maksud bahwa saat kedua tokoh ini memilih untuk tidak bersatu dalam cinta yang tak akan pernah hilang dalam hati mereka, namun takdir itu menyatakan hati itu dipilih. Hati Kugy sudah dipilih Keenan dan begitu sebaliknya.
Realitas yang terjadi dalam novel ini adalah kehidupan tokoh Kugy dan Keenan. Kugy dengan kemampuan menulis terutama menulis dongeng namun dalam realitas kehidupan tokoh tersebut ia tidak dapat berkarya melalui hobinya itu, ia malah menulis cerpen dengan tema yang diangkat dari kisah cinta remaja --hingga terbit dimajalah--. Sedangkan Keenan memiliki kemampuan melukis, malah kuliah jurusan managemen di Fakultas Ekonomi. Terkadang pelayaran kehidupan menentang cita atas diri kita sendiri. Sepertinya Dee menyampaikan bahwa terkadang apakah kita harus menjadi bukan diri kita dulu untuk mencapai apa yang kita citakan?
Realitas lain yang terjadi dalam novel ini yang sering kita temukan dalam kehidupan yang bernama Dunia Ril bukan fiksi yaitu konflik antara orang tua dan anak. Hal ini terjadi pada tokoh Keenan dengan ayahnya. Keinginan Keenan untuk menjadi pelukis terkenal dibantah keras oleh ayahnya. Namun Dee sebagai pengarang tidaklah menyulutkan tokoh ayah tanpa tujuan berwatak keras kepada anaknya. Sang ayah memiliki tujuan baik jika kita berpandangan pada realitas hidup yang sesungguhnya. Agar Keenan bisa melanjutkan tugasnya sebagai pemilik sekaligus  menjalankan perusahaan yang ia bangun sendiri. Realitas dan keinginan terkadang memang tidak sejalan.
Fakta realiatas atas cinta, seseorang tidak dapat berkutik atas dirinya sendiri. sebagaimana perahu yang melaju begitu ikhlas dan rela dibawa arus entah sampai ke tujuan apakah remuk dan pecah berkeping di tengah perjalanan. Tak ada yang berkuasa atas kehidupan seseorang kecuali kehidupan itu sendiri. apakah tidak ada pilihan dalam hidup? Perahhu kertas ini mengajarkan tentang sebuah pilihan dalam hidup. Mengalirlah seperti apa yang kau (hidup) pilih.
Dewi Lestari sebagai pengarang novel Perahu Kertas ini dilahirkan di Bandung, Jawa Barat, 20 Januari 1976. Ia bukan hanya seorang penulis tetapi juga penyanyi. Dee pertama kali dikenal masyarakat sebagai anggota trio vokal Rida Sita Dewi. Ia merupakan alumnus SMA Negeri 2 Bandung dan lulusan Universitas Parahyangan, jurusan Hubungan Internasional.
Sebelum novel pertamanya terbit, tak banyak orang yang tahu kalau Dee telah sering menulis. Tulisan Dee pernah dimuat di beberapa media. Salah satu cerpennya berjudul "Sikat Gigi" pernah dimuat di buletin seni terbitan Bandung, Jendela Newsletter, sebuah media berbasis budaya yang independen dan berskala kecil untuk kalangan sendiri. Tahun 1993, ia mengirim tulisan berjudul "Ekspresi" ke majalah Gadis yang saat itu sedang mengadakan lomba menulis dimana ia berhasil mendapat hadiah juara pertama. Tiga tahun berikutnya, ia menulis cerita bersambung berjudul "Rico the Coro" yang dimuat di majalah Mode. Bahkan ketika masih menjadi siswa SMU 2 Bandung, ia pernah menulis sendiri 15 karangan untuk buletin sekolah.
Berdasarkan latar belakang Dee, novel ini dibuat bukan tidak mungkin bahwa pengarang mengangkat cerita dari realitas sosial dan budaya kehidupannya. Dee menulis novel ini di dominasi dengan latar tempat di Bandung dan ia juga orang yang dilahirkan dan besar di kota ini juga.
Nampaknya Dee menyampaikan bagaimana budaya remaja (mahasiswa) ketika menjalani hidup jauh dari orang tua yaitu ngekos dan adanya sebentuk kantin yang bernama pemadam kelaparan yang harga jajanannya disesuaikan dengan saku mahasiswa. Betapa hidup itu saling ketergantungan. Bahwa perahu tidak dapat berlayar kalau tidak ada aliran air. Jadi, latar sosial budaya Dewi Lestari sebagai pengarang mempengaruhi isi cerita dan gaya bahasa kepenulisan novel ini.
Membaca novel Perahu Kertas seperti halnya sebuah perahu berlayar. Dalam perjalanan membacanya ada saja yang kau temukan terutama diksi-diksi yang baru sehingga saya sebagai pembaca penasaran apa makna dari diksi tersebut. Misalnya ada Mother Alien, hunusan pedang es, bulan-perjalanan-kita, sakola alit, kebohongan gigantis, agen Non- Aquarius, arisan toilet, oasis dan lainnya. Frasa-frasa ini di letakkan sebagi subjudul dalam novel ini. Ketika melihat subjudulnya saja menarik dan lahirlah keinginan untuk membacanya.
Perahu Kertas banyak mengajarkan arti kehidupan kepada kita. Arti kerelaan hati untuk menerima karena cinta tak kesampaian. Perahu Kertas memperlihatkan bagaimana mimpi itu harus di perjuangkan. Bagaimana cinta dalam menemukan takdirnya? Bagaimana cinta dalam keluarga? Bagaimana hidup diwarnai dengan persahabatan?
Novel ini juga menceritakan Kugy yang mengajar atau menjadi relawan pengajar di sebuah sekolah –tepatnya bukan sekolah formal seperti yang kita ketahui-- yang dinamakan Sakola Alit. Sakola Alit terletak agaknya terpelosok di sebuah kampung. Di sini Dee memberikan nilai lain terhadap novel ini yaitu pentingnya pendidikan bagi anak bangsa untuk tanah air ini.
Itulah Perahu Kertas menjadi objek metaforik bagi novel ini. Perahu kertas menjadi benang merah untuk merangkai potongan-potongan (gelombang, riak air, layar) menjadi kisah apik dan menarik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Bacaan Novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah Karya Tere Liye

Contoh Kajian Sosiologi Sastra

Laporan Bacaan Buku Sastra Bandingan Karya Sapardi Djoko Damono